logo blog

Bagaimana Cara Menghadapi Sengketa Utang?

Bagaimana Cara Menghadapi Sengketa Utang?



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSQkbODGpOqyT5ryJila9GWGbAtf7EOfuzmBiVEB1C4iG-u2sfhc6-vTK1RPRJ-eXpYwDhDHBIvGxQLpUmAT63c8-aWsDvmx5o3k8Q7RpKllGS7hz_mPcOPBjvWLPkk9etxUtevwB3Leva/s1600/20151017-memberi-uang-dan-membayar-hutang-ilustrasi.jpg

Bagaimana cara menyelesaikan sengketa utang. Si A mengaku bahwa si B punya punya utang ke dia. Tapi si B mengaku, tidak pernah utang ke A. Sementara keduanya tidak memiliki bukti.

Trim’s

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ketika terjadi perselisihan antara orang yang memberi utang (kreditur) dengan penerima utang (debitur) mengenai nilai utang maka yang dimenangkan adalah mereka yang memiliki bukti dan ada saksi.

Yang menjadi masalah adalah ketika keduanya tidak memiliki bukti maupun saksi.

Sebelumnya, kita akan mempelajari cara yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyelesaikan sengketa.

Dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ

“Bukti itu menjadi tanggung jawab mudda’i dan sumpah menjadi pembela bagi mudda’a alaih.” (HR. Turmudzi 1391, Daruquthni 4358 dan dishahihkan al-Albani).

Dalam sebuah sengketa, di sana ada 2 pihak,

[1] Pihak yang menuntut. Dialah yang mengajukan klaim. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya denganmudda’i.

[2] Pihak yang dituntut. Dia yang diminta untuk memenuhi klaim. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan mudda’a alaih.

Kewajiban dan tanggung jawab masing-masing berbeda,

[1] Untuk pihak penuntut (mudda’i), dia diminta mendatangkan bukti atau saksi.

[2] Untuk pihak yang dituntut (mudda’a alaih), ada 2 kemungkinan posisi;

(1) Jika  mudda’i bisa mendatangkan bukti yang bisa diterima, maka dia bertanggung jawab memenuhi tuntutannya.

(2) Sebaliknya, Jika mudda’i tidak bisa mendatangkan bukti yang dapat diterima, maka mudda’a alaih diminta untuk bersumpah dalam rangka membebaskan dirinya dari tuntutan. Jika dia bersumpah maka dia bebas tuntutan.



Selanjutnya, bagaimana cara menentukan mudda’i dan mudda’a alaih? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada 2 kriteria yang terkenal, yang disampaikan al-Hafidz Ibnu Hajar,

واختلف الفقهاء في تعريف المدعي والمدعى عليه، والمشهور فيه تعريفان: الأول: المدعي من يخالف قوله الظاهر والمدعى عليه بخلافه، والثاني: من إذا سكت ترك وسكوته، والمدعى عليه من لا يخلى إذا سكت، والأول أشهر، والثاني أسلم…

Ulama berbeda pendapat mengenai batasan mudda’I dan mudda’a alaih. Yang masyhur, ada 2 pengertian,

[1] Mudda’i adalah orang yang keadaannya tidak sejalan dengan kondisi normal (yang dzahir). Sementara mudda’a alaih adalah kebalikannya.

[2] Mudda’i adalah orang yang ketika meninggalkan kasus dia dibebaskan. Sementara mudda’a ‘alaih adalah orang yang  ketika diam meninggalkan kasus, tidak dibiarkan.

Kata Ibnu Hajar, “Yang pertama itu yang masyhur, sementara yang kedua yang lebih selamat…” (Fathul Bari, 5/283)

http://4.bp.blogspot.com/-MQnS2AeGIuo/VSOH2QssEFI/AAAAAAAACAM/0HMFYKnzQJU/s1600/agar-terbebas-dari-utang.jpg

Kita terapkan dalam kasus sengketa utang,

Paijo mendatangi Paimen dan menuntut agar dibayarkan utangnya senilai 1 juta. Sementara Paimen merasa tidak ada utang 1 jt ke Paijo. Akhirnya mereka berselisih. Bagaimana cara penyelesaiannya?

Kita akan merunut sebagai berikut:

[1] Hukum asal manusia adalah tidak memiliki utang. Sehingga bebas utang adalah status normal manusia. ketika ada orang mengatakan, si A itu punya utang, berarti ini tidak sejalan kondisi normal.

[2] Ketika si X mengklaim bahwa si A memiliki utang kepadanya maka siapa yang ketika meninggalkan kasus dia bisa dilepaskan?

Jawabannya adalah si X. jika si X diam dan meninggalkan kasus sebelum diputuskan, orang tidak akan menuntutnya. Berbeda dengan si A. ketika si A meninggalkan kasus sebelum diputuskan, maka si X akan tetap menuntut, sehingga si A tidak bisa lepas.

Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan untuk kasus Paijo dan Paimen, siapa yang harus mendatangkan bukti dan siapa yang cukup mengingkari dengan sumpah. Penyelesaian sengketa,

[1] Kepada Paijo diminta untuk mendatangkan bukti bahwa Paimen pernah utang 1 juta kepadanya. Jika Paijo punya bukti yang bisa diterima, maka Paimen wajib bayar utang. Dalam hal ini, kasus dimenangkan Paijo.

[2] Jika Paijo tidak punya bukti maupun saksi, maka Paimen diminta bersumpah bahwa dirinya tidak pernah berutang ke Paijo. Jika Paimen bersumpah, maka dia tidak berkewajiban membayar utang 1 jt itu, dan dalam kasus in Paimen dimenangkan.




**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Kabar Ukhuwah Islamiyah - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger