logo blog

Mengucapkan Kata Talak Saat Sedang Mabuk?

Mengucapkan Kata Talak Saat Sedang Mabuk?

http://www.lenterakabah.com/wp-content/uploads/2016/09/Mengucapkan-Kata-Talak-Saat-Sedang-Mabuk.jpg

Oleh

Ustadz Anas Burhanuddin,MA

Pertanyaan.

Assalaamu ‘alaikum. Saya mau bertanya. Bagaimana hukumnya seorang suami yg mengucapkan kata-kata talak, sedangkan dia dalam keadaan mabuk karena nyabu (penyalahgunaan obat). Peristiwa itu terulang sudah tiga kali dan diluar Pengadilan Agama. Keluarga pihak istri keberatan jika mereka harus ruju’ lagi. Mereka sangat berharap dalam waktu segera ada fatwa (singkat) yang meneguhkan hati dari sudut pandang agama. Syukran. Jazâkumullâh khairan katsiran

Jawaban.

Semoga Allâh memberkahi Anda sekeluarga di manapun berada. Sebagian Ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan oleh seorang suami dalam keadaan mabuk itu sah, karena hilangnya akal pemabuk disebabkan oleh perbuatan maksiatnya. Dan perbuatan maksiat tidak bisa menjadi udzur bagi si suami. Talaknya dianggap sah sebagai bentuk hukuman baginya.

Namun menurut pendapat yang lebih kuat, talak suami yang mabuk tidak sah dan tidak dianggap. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:

    Dalam agama Islam, ucapan orang yang mabuk tidak dianggap, karena ia tidak menyadari ucapannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat dalam kondisi mabuk sampai kalian menyadari apa yang kalian ucapkan [An-Nisâ/4:43]

    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika didatangi orang yang mengaku berzina. Beliaupun bertanya, “Apakah dia gila atau telah minum khamr?” Maka salah seorang sahabat bangkit dan membaui mulut orang tersebut, dan ternyata tidak ada bau khamr. Setelah itu baru Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat melaksanakan hukum rajam pada lelaki tersebut sesuai dengan keinginannya. [HR. Muslim no. 1695]

Ini menunjukkan bahwa jika seandainya orang tersebut mabuk, pengakuannya tidak akan diterima dan tidak akan ditegakkan hukum rajam padanya. Begitu juga jika orang yang mabuk mengucapkan talak, karena pengakuan zina dan talak sama-sama ucapan yang memiliki konsekuensi hukum.

    Ini adalah pendapat Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma, dan tidak diketahui ada pendapat lain di kalangan Shahabat ysng menyelisihinya. Utsmân Radhiyallahu anhu mengatakan:

لَيْسَ لمَجْنُون وَلَا سَكرَان طَلَاقٌ

Talak orang gila dan orang mabuk tidak dianggap [Hadits riwayat Imam Ahmad dalam Masâ`il Imam Ahmad Riwayat Abdullah 1/361, dihukumi shahih oleh Ibnul Mundzir]

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpTT7848k59Mip3eL2HY3FXdwrG03Hv_TGxK0CgsSFwRydOm6GHiS36LewkoX8UYlSDCPSQZJVgavGbPbGhY7wkbMtpoTH2iXLTSM-_bPvJD764DtoXDR7jDD8pFZ9rXHWbvMzryxaWjbr/s1600/jangan+bercanda-talak-nikah.jpg

Pendapat kedua ini adalah pendapat Imam Ahmad rahimahullah, Dawud azh-Zhahiri rahimahullah dan salah satu pendapat  Imam Syâfi’i rahimahullah . Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh  Ibnu Taimiyyah rahimahullah, Ibnul Qayyim rahimahullah, Ibnu Bâz rahimahullah juga Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah.[1]

Namun jangan dipahami bahwa ulah pemabuk juga tidak memiliki konsekuensi. Para Ulama sepakat bahwa perbuatan pemabuk memiliki konsekuensi. Jika ia membunuh, mencuri, berzina dan sebagainya, ia harus menanggung akibatnya. Karena jika hukuman tidak diberlakukan, niscaya akan banyak pelaku kejahatan yang berlindung dibalik mabuk untuk menghindari hukuman.

Di sini kita melihat bahwa para Ulama membedakan antara ucapan dan perbuatan pemabuk. Ucapan pemabuk tidak dianggap menurut sebagian Ulama, sedangkan perbuatannya tetap dianggap berdasarkan kesepakatan semua Ulama.

Kembali ke pertanyaan, harus diperiksa kembali kondisi suami saat mengucapkan talak. Jika talak terjadi saat suami sadar dan tidak mabuk, talak sudah jatuh. Sebaliknya jika talak benar-benar terjadi saat suami mabuk, berarti talak tidak sah dan ikatan suami istri tetap ada. Adapun jika istri enggan dan keberatan  untuk bertahan karena kefasikan suaminya atau faktor yang lain, dia bisa mengajukan khulu’, meminta suami untuk menceraikannya  dengan mengembalikan mahar pernikahan yang dahulu diberikan suami.

Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat: Fatâwâ Thalâq, hlm. 29; Asy-Syarh al-Mumti’ 10/433.




**| republished by Lentera Kabah
Lentera Kabah

Share this:

Enter your email address to get update from ISLAM TERKINI.

Tidak ada komentar

About / Contact / Privacy Policy / Disclaimer
Copyright © 2015. Kabar Ukhuwah Islamiyah - All Rights Reserved
Template Proudly Blogger